ALAN & DEWI (Series Pangestu 1)

oleh moranamacaria

Rp 50,000

MY SEXY JANDA Full Version/Lengkap (Alan & Dewi) | Adult Romance Comedy | Mature/18+ 🌹


Harga normal 65k menjadi hanya 50k.


****


Dewi tersenyum dengan kedua mata yang menyipit mengingat-ingat wajah Alan. Sejenak tadi ia sempat kaget. "Kamu ... kamu anaknya Pak Aji kan, yang malam itu?" tebak Dewi.


Alan mengangguk dengan tersenyum. "Ayo naik, biar gue antar," katanya.


Dewi segera menggeleng dan menunjuk ke depan. "Itu rumah saya." Alan membuat huruf o kecil dengan bibirnya. Waktu itu malam, hingga ia tidak terlalu mengingat jelas di mana letak rumah Dewi.


"Ehem!" Alan berdeham cool. "Boleh mampir bentar? Kebetulan gue belum minum kopi."


Dewi sedikit menimang-nimang, kemudian mengangguk kecil mengiyakan. Tidak enak juga untuk menolak, terlebih pria itu adalah putra dari bossnya sendiri.


Alan mengikuti wanita tersebut yang berjalan dengan lenggang sexy di depannya. Sampailah mereka di depan rumah Dewi. Alan masuk dan menelisik ke seluruh ruangan yang ada di dalam sana.


"Bentar ya, saya buatin kopi," ujar Dewi ramah. Alan mengangguk kecil dan lirik matanya mengikuti bokong Dewi yang berayun naik turun saat ia tengah melangkah.


Ia memperhatikan satu persatu foto-foto yang tergantung di dinding. "Itu suaminya?" lontar Alan saat Dewi datang dengan membawa segelas kopi.


Wanita itu ikut melihat pada foto pernikahannya bersama sang suami tiga tahun silam. "Iya, Mas Roy baru aja meninggal enam bulan lalu karena sakit," jawab Dewi sudah tidak lagi bersedih. Hatinya telah merelakan suaminya itu pergi dengan tenang.


"Uhm ... okay, I'm sorry!" kata Alan meminta maaf. 

"Nggak pa-pa, Dek. Santai aja," balas Dewi yang langsung duduk pada sofa di depan Alan.


Pria 25 tahun itu mengangkat sebelah alisnya. Dua kali sudah Dewi menyebutnya adik. "Umurnya berapa sih?"


Dewi tertawa kecil. Ia tahu Alan pasti kurang setuju dirinya dipanggil adik. "Bulan kemarin umur saya genap 33 tahun. Kamu?" tanya Dewi balik. Jujur ia sedikit penasaran dengan usia Alan karena putra Aji itu memiliki postur yang tinggi.


"Beda delapan tahun doang. Gue 25," jawab Alan lalu menyeruput kopi buatan Dewi.


"Kamu seumuran dengan adik cowok saya. Tapi kamu terlalu tinggi," kata Dewi membandingkan tinggi Alan dan adiknya.


"Lo nggak suka cowok tinggi? Kan panjang tuh," celetuk Alan membuat Dewi menahan senyum.


"Iya, cowok tinggi kakinya emang panjang-panjang. Bagus, saya suka," balas Dewi yang gantian membuat Alan menahan mati-matian senyumnya.


"Ngomong-ngomong, kenapa hari ini lo nggak ke kantor?" tanya Alan.


"Hari ini saya memang meminta izin pada Pak Aji untuk tidak ke kantor, karena kebetulan saya sedang tidak enak badan," jawab Dewi apa adanya. Ia memang merasa kurang sehat karena terlalu lelah.


Alan menyeruput lagi kopi buatan janda tersebut. "Ayo cari keringat, biar badannya enakan," ajak Alan begitu ambigu.


Dewi kembali menahan senyumnya dan berusaha untuk berpikir positif.


"Uhm ... maksud kamu—“

"Lari atau bersepeda pagi. Ini kan masih jam sembilan, atau nggak nge-gym bareng," sela Alan menjelaskan dengan senyum tertahan.


Dewi bernapas dengan lega. Baru kali ini ada pria yang usianya jauh di bawah ia tetapi sangat berani dalam berkata-kata.


"By the way, gue manggil lo apa nih?" tanya Alan serius. Ia cukup bingung ingin memanggil Dewi dengan sebutan apa.


Janda 33 tahun berambut panjang sepinggang itu mengulas senyum ramahnya. "Dari Dek Alan aja," jawab Dewi memberi kode. Mestinya Alan sudah tahu ia harus memanggil Dewi apa, karena wanita itu bahkan telah menyebutnya adik.


"Mbak atau sayang? Atau jandaku?" Dewi tertawa, sementara Alan mengulum bibirnya tampan.


"Panggil aja Mbak Dewi, karena usia kamu sama dengan adik saya," jelas wanita itu.


Alan terkekeh kecil. Dewi masih terlihat begitu cantik dan juga muda, tinggi mereka berbeda sangat jauh. Karena ia lelaki, tentu secara fisik Dewi nampak kecil di matanya. Hanya saja usia mereka terpaut delapan tahun jauhnya.


"Kenapa?" celetuk Alan bertanya karena Dewi memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah.


"Nggak pa-pa. Saya heran aja kenapa kamu bisa tinggi dan sebesar ini, padahal Pak Aji tidak terlalu tinggi, adik kamu si Alamsyah juga tidak begitu tinggi sama kayak kamu," terang Dewi yang memang merasa heran.


Alan meminum, menghabiskan segelas kopi buatan Dewi yang telah menghangat. "Lima tahun gue di Amerika, gue emang perhatikan banget bentuk tubuh gue. Karena di sana teman-teman gue pun begitu. Gue juga nggak mau kalah, gue juga mau punya gue gede," jelas Alan lagi-lagi ambigu. 

"Gede? Oh ... iya, otot lengan sama bahu kamu emang gede." Tertawalah Alan. Pikiran janda itu benar-benar positif.


"Yang lainnya juga gede," lontar Alan yang sudah bangkit berdiri seraya memakai jaketnya. Dewi menyipitkan kedua mata dengan tersenyum.


"Iya, jari-jari tangan kamu gede banget. Pasti kuat tuh angkatin balok." Alan tak bisa menghentikan tawanya. Ia terus tertawa cool dengan suaranya yang ngebass.


"Gue pulang dulu. Nanti kalau gue mau nyusu— eh ngopi gue ke sini lagi. Nggak pa-pa kan? Nanti gue bayar dengan yang enak-enak," ujar Alan, lagi dan lagi sangat ambigu. 

"Yang enak-enak? Martabak, kue coklat, es krim, seblak, saya suka tuh. Enak-enak semuanya." Positif sekali ya bund pikirannya.


Dewi mengantar Alan hingga ke luar. Ia memakai helm-nya dan segera naik ke atas motor. "Cepet sehat. Nanti gue ajak jalan," kata Alan pada Dewi.


"Jalan ke mana?" tanya Dewi serius.


"Ke pelaminan." 


Masih ada 1 file dan 44 kata yang terkunci

Review

Belum ada review, beli dan jadi orang pertama yang me-review produk ini