
Tidak disangka, kedatangan Shazeea Ruby Calista di Italia untuk bertemu dengan keluarga sang kekasih, justru membuatnya terjebak dalam dunia yang penuh rahasia, warisan berdarah, dan tatapan mata yang tak ramah.Di rumah megah keluarga Alvarez, cinta bukan satu-satunya yang diuji, tetapi loyalitas, identitas, bahkan tujuan pun dipertaruhkan.Dan dari sanalah, semuanya di mulai

"Pelan-Pelan Menuju Pulang" adalah narasi emosional yang menggambarkan pergulatan batin seseorang yang tampak kuat di luar, namun menyimpan luka, pertanyaan, dan kelelahan dalam diam. Lewat kata-kata yang jujur dan puitis, tulisan ini mengajak pembaca menyelami rasa lelah yang tak terlihat, kesedihan yang tak terdengar, dan harapan yang tak pernah padam.Narasi ini bukan sekadar curahan hati, tapi juga pelukan hangat bagi siapa pun yang sedang berjuang, merasa sendiri, atau hampir menyerah. Sebuah pengingat bahwa sembuh itu butuh waktu, dan tak apa jika hari ini belum bahagia. Karena sejauh apa pun kamu tersesat, kamu tetap sedang menuju pulang, pada dirimu sendiri yang lebih kuat dan utuh.

Orang bilang, jangan pernah bermain api kalau tak ingin terbakar. Tapi bagi Shazeea Ruby Calista, hidup tanpa api justru terasa terlalu membosankan.Dengan senyum penuh percaya diri dan rencana gila di kepalanya, ia melamar kerja di tempat yang tak akan disentuh orang waras, Alvarez Mansion. Sebuah rumah megah penuh misteri, milik keluarga terpandang, tempat bersemayamnya pria paling ditakuti sekaligus paling dibicarakan seantero kota, Lorenzo Dante Alvarez.Tujuan Shazeea sederhana, membuat sang pemeran utama pria jatuh cinta, terikat padanya, dan saat semua terasa sempurna, dia akan pergi. Menghilang. Meninggalkan luka. Menciptakan trauma.Tapi rencana yang terdengar cemerlang itu berubah total ketika sang target justru menyambutnya dengan cara yang tak terduga, cepat, intens, dan membuatnya terikat sejak awal.Dan Shazeea mulai sadar, mungkin permainan ini bukan lagi soal siapa yang menaklukkan siapa, tapi siapa yang bertahan paling lama dan menentukan siapa yang sebenarnya menjadi pionernya.

Cemara itu berdiri tegak di ujung jalan, menjulang tinggi menantang langit, seperti tahu ke mana ia ingin tumbuh. Aileen sering memandangi pohon itu dari jendela kamarnya, membayangkan jika ia adalah cemara, apakah hidupnya akan lebih indah dari sekadar kata? Apakah ia akan punya arah seperti pohon itu, yang tak goyah meski diterpa angin?Ia tak pernah tahu rasanya dipeluk hangat sepulang sekolah, disambut dengan senyum dan segelas susu hangat di ruang tamu. Yang ia tahu, hanya sepi dan sunyi. Ibunya terlalu sibuk mencintai adik tirinya, terlalu sibuk membagi kasih yang tak pernah sampai padanya. Aileen terbiasa menjadi yang tak terlihat, menyendiri di kamar, menahan tangis, dan menanti yang tak pernah kembali.Ayah? Bahkan wajahnya pun tak pernah ia kenali. Hanya sekedar nama tanpa suara, hadir lewat transfer uang tiap bulan yang masih dipegang ibunya. Katanya, ia ada bukan karena cinta, hanya kewajiban dibalik hubungan semata. Dan cinta, bagi Aileen, tampaknya adalah hak istimewa yang tak sempat ia miliki sejak ia dilahirkan di dunia. Dulu, saat masih kecil, Aileen sering menunduk ketika teman-temannya bercerita tentang keluarga, tentang ayah yang membawakan es krim sepulang kerja, ibu yang memeluk hangat di tengah malam, atau tawa yang memenuhi ruang makan saat akhir pekan tiba. Kini, di usia tujuh belas, ia tak lagi menunduk. Ia hanya tersenyum tipis, lalu terdiam, karena rasa iri itu tak lagi menggumpal, ia sudah menjelma menjadi ruang kosong yang tak tahu bagaimana caranya untuk kembali terisi."Seandainya aku terlahir sebagai cemara," gumamnya suatu malam, menatap langit yang sama sekali tak bersahabat, "Setidaknya… apakah aku akan seberuntung mereka?"Tapi Aileen bukan cemara. Ia hanya gadis tujuh belas tahun yang ingin dipeluk oleh dunia, tapi nyata nya dunia terlalu sibuk berpura-pura bahwa ia tak pernah ada.Dia Aileen Keenara. Gadis yang terlihat tenang, padahal jiwanya retak dari segala sisi. Yang selalu menyimpan hujan dalam dada, karena langit pun enggan memeluknya.Yang selalu menyembunyikan luka di balik senyuman nya. Yang hidup dalam rumah, tapi tak pernah merasa punya rumah. Dia adalah luka yang terus berjalan, tapi tetap mencoba untuk terus bertahan.

Angin sore menyusup pelan ke sela-sela jendela yang setengah terbuka. Di luar, langit mengguratkan warna-warna lembut yang biasa ia kenal sejak kecil, senja, cahaya jingga yang sudah akrab sebagai temannya.Kalaluna duduk diam, kedua tangannya menggenggam cangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Tak ada yang istimewa dari hari itu. Tidak juga dari sore itu. Tapi entah mengapa, udara terasa lebih berat dari biasanya.Ada sesuatu yang tidak bisa ia beri nama, tapi jelas terasa. Seperti kehilangan yang datang sebelum perpisahan, atau rindu yang muncul sebelum benar-benar jatuh cinta.Ia menoleh ke lukisan setengah jadi di sudut ruangan. Guratan-guratannya belum rampung, warnanya belum hidup. Tapi di sana, sudah ada satu hal yang utuh, sepasang mata cokelat yang terlalu dalam untuk diabaikan.Dan untuk pertama kalinya, Kalaluna sadar... mungkin beberapa perasaan memang tidak untuk dimenangkan, tidak semua cinta berakhir bersama, terkadang hanya tersisa luka untuk diterima.