
Rp 10,000
Cemara itu berdiri tegak di ujung jalan, menjulang tinggi menantang langit, seperti tahu ke mana ia ingin tumbuh. Aileen sering memandangi pohon itu dari jendela kamarnya, membayangkan jika ia adalah cemara, apakah hidupnya akan lebih indah dari sekadar kata? Apakah ia akan punya arah seperti pohon itu, yang tak goyah meski diterpa angin?
Ia tak pernah tahu rasanya dipeluk hangat sepulang sekolah, disambut dengan senyum dan segelas susu hangat di ruang tamu. Yang ia tahu, hanya sepi dan sunyi. Ibunya terlalu sibuk mencintai adik tirinya, terlalu sibuk membagi kasih yang tak pernah sampai padanya. Aileen terbiasa menjadi yang tak terlihat, menyendiri di kamar, menahan tangis, dan menanti yang tak pernah kembali.
Ayah? Bahkan wajahnya pun tak pernah ia kenali. Hanya sekedar nama tanpa suara, hadir lewat transfer uang tiap bulan yang masih dipegang ibunya. Katanya, ia ada bukan karena cinta, hanya kewajiban dibalik hubungan semata. Dan cinta, bagi Aileen, tampaknya adalah hak istimewa yang tak sempat ia miliki sejak ia dilahirkan di dunia.
Dulu, saat masih kecil, Aileen sering menunduk ketika teman-temannya bercerita tentang keluarga, tentang ayah yang membawakan es krim sepulang kerja, ibu yang memeluk hangat di tengah malam, atau tawa yang memenuhi ruang makan saat akhir pekan tiba. Kini, di usia tujuh belas, ia tak lagi menunduk. Ia hanya tersenyum tipis, lalu terdiam, karena rasa iri itu tak lagi menggumpal, ia sudah menjelma menjadi ruang kosong yang tak tahu bagaimana caranya untuk kembali terisi.
"Seandainya aku terlahir sebagai cemara," gumamnya suatu malam, menatap langit yang sama sekali tak bersahabat, "Setidaknya… apakah aku akan seberuntung mereka?"
Tapi Aileen bukan cemara. Ia hanya gadis tujuh belas tahun yang ingin dipeluk oleh dunia, tapi nyata nya dunia terlalu sibuk berpura-pura bahwa ia tak pernah ada.
Dia Aileen Keenara. Gadis yang terlihat tenang, padahal jiwanya retak dari segala sisi. Yang selalu menyimpan hujan dalam dada, karena langit pun enggan memeluknya.Yang selalu menyembunyikan luka di balik senyuman nya. Yang hidup dalam rumah, tapi tak pernah merasa punya rumah. Dia adalah luka yang terus berjalan, tapi tetap mencoba untuk terus bertahan.